Sabtu, 12 Juni 2010

Perempuan Dalam Aksara

Di zaman yang dapat saya katakan makin edan ini, perempuan dihadapkan dengan berbagai tantangan. Tanatang yang mereka alami bukanlah tantangan biasa, pasalnya tantangan tersebut berkaitan dengan ketidaksetaraan gender. Perempuan kerap menanggung beban yang berat karena hal itu. Namun kini perlahan tapi pasti, emansipasi perempuan mulai bangkit. Kebangkitan perempuan terlihat dalam dunia tulis-menulis. Terjunnya perempuan dalam dunia tulis-menulis dengan berbagai alasan, diantaranya menyalurkan hobi, menuangkan pemikiran, mengabadikan kisah, mencari keuntungan ekonomi, atau sekedar ingin melampiaskan kejenuhan.
Banyak bermunculan penulis-penulis perempuan dengan berbagai karakter. Gender merupakan salah satu tema yang banyak dipilih. Memang banyak perempuan di Indonesia yang terlibat langsung dalam dunia penulisan. Namun, sangat sulit menemukan karya dari penulis perempuan yang mengungkapkan tema penyadaran perempuan atau sifat-sifat kejuangan perempuan dalam masyarakat, yang dalam hal ini tentu saja berkaitan dengan gender.
Lihat saja Djenar Maesa Ayu, ia merupakan salah satu penulis perempuan yang menginginkan kesetaraan gender, namun dalam beberapa karyanya tidak tampak sisi kejuangan seorang perempuan. Salah satu karyanya Nayla, novel ini lebih didominasi oleh isu seksualitas, kekerasan, dan gaya hidup yang hedonis, serta lebih menonjolkan tokoh-tokoh yang pesakitan. Penulis lainnya, yakni Oka Rusmini. Ia lebih mengangkat isu ketertindasan perempuan dari segi budaya. Melalui novel Tarian Bumi, Oka memperlihatkan ketertidasan perempuan Bali secara gamblang. Ketertindasan tersebut terjadi karena adat istiadat dan mitos kecantikan. Lain lagi dengan Fira Basuki, perselingkuhan menjadi ciri khas dalam karya-karyanya. Ia melihat perselingkuhan sebagai bagian dari permasalahan gender.
Mengapa penulis perempuan –khususnya penulis novel- di Indonesia lebih suka mengangkat ketertindasan perempuan dibanding menguak perjuangan dan keberhasilan perempuan? Mungkinkah karena tuntutan pasar? Jika memang seperti itu, artinya kesadaran untuk bangkit dari ketertindasan masih sangat minim, masyarakat kita terlarut dibuai romantisme ketertindasan hingga lupa bangkit untuk melawan.
Yang mengesankan, justru penulis laki-laki lah yang gencar mengangkat tema penyadaran dan perjuangan perempuan. Ia adalah pemilik nama Pramoedya Ananta Toer. Ia merupakan satu dari sekian banyak penulis yang hampir dalam semua karyanya manampilkan “ketokohan” perempuan, serta begitu dominannya perempuan dalam pergerakan kemasyarakatan di Indonesia. Dalam kacamata Pramoedya Ananta Toer, peran perempuan bukan sekedar “emansipasi” perempuan, melainkan pencerahan masyarakat. Salah satu tokoh dalam karyanya adalah Nyai Ontosoroh, seorang perempuan yang mampu membela dirinya sendiri dari kekuatan penjajah.
Memang, jika dibandingkan dengan Pramoedya Ananta Toer, penulis perempuan –yang telah saya sebutkan di atas- masih sangat jauh berbeda. Di sinilah seharusnya bangkit kejuangan perempuan Indonesia dalam dunia penulisan supaya mampu bersaing “secara sehat” dengan penulis laki-laki. Akan lebih baik jika mereka berangkat dari tema-tema pencerahan bagi masyarakat untuk mendobrak alam pikiran yang bias gender.

Trisna A Ayumika

0 komentar:

Posting Komentar