Kamis, 12 Agustus 2010

Membangun Kota yang Nyaman dan Efisien

Kota merupakan suatu entitas yang sistemik atau utuh. Itu hal pertama yang harus dipakai. Sebagai suatu entitas yang utuh, kota mesti memberikan daya dukung yang cukup baik secara material ataupun non material sehingga mampu menjadi wahana hidup bagi seluruh warga. Ekonomi, budaya dan politik merupakan beberapa hal yang mesti tersedia untuk menghidupkan warganya.
Bicara mengenai kota, harus bicara mengenai sistem tata ruang kota dan harus dikelola dengan baik. Sistem tata ruang menjadi referensi pembangunan bagi pemerintah, swasta maupun warga. Selama sistem tata ruang tidak disusun dengan baik, berdasarkan relasi-relasi fungsional, maka tidak akan pernah tertata dengan baik.

Dalam pembangunan ekonomi konsepnya mesti benar-benar dipikirkan agar tidak menghamburkan dana tapi malah membuat semrawut keadaan kota. Semisal di Jakarta, pembangunan mal-mal tidak didasarkan pada analisis lingkungan yang memadai akibatnya, kesemrawutan yang ditimbulkan justru lebih besar dampaknya dibandingkan dengan keuntungannya. Kemacetan yang terjadi di depan atau persimpangan mal sulit terurai sebab banyaknya angkutan umum yang ngetem di sana.

Tidak hanya itu, tata letak pembangunan mal yang tidak dipikirkan secara terencana akhirnya membuat persaingan yang tidak seimbang. Pada akhirnya banyak mal-mal yang kini mati suri atau bahkan bangkrut dan beralih fungsi. Contohnya adalah salah satu mal besar yang ada di kawasan Mangga Dua, Jakarta Utara dan banyak mal lainnya.

Konsep pembangunan yang terencana matang akan membantu pemerintah kota untuk dimengerti oleh warganya, sehingga tidak akan mengakibatkan penggusuran yang berujung konflik. Relasi fungsional pembangunan kota mesti memperhatikan betul aspek-aspek sosial yang ada. Semisal dalam penggusuran di kawasan kumuh, harus diingat juga bahwa penghuni kawasan yang dianggap kumuh itu merupakan konstituen penyelenggara kehidupan kota baik sebagai konsumen, pekerja atau justru pegawai pemerintahan berpangkat rendah.

Sayangnya, hal itu tidak dilaksanakan oleh pemerintah kota. Pembangunan kota-kota di Indonesia menafikan partisipasi warga. Warga tidak dihitung sebagai manusia yang berhabitat dalam ruang, tetapi menjadi angka semata. Terjadilah apa yang disebut “kota tanpa warga”. Pemerintah asyik membangun gedung-gedung tinggi untuk menarik investor sementara warganya digeser ke pinggiran dan terpaksa mendiami kawasan padat penghuni yang mana pada akhirnya akan disebut sebagai kawasan kumuh. Jika seperti ini terus maka mata rantai penggusuran pun tak dapat dihilangkan.

Roma tidak dibangun dalam sehari. Itulah pepatah yang kiranya harus diresapi oleh para pembesar di negeri ini. Diperlukan sebuah blue print pembangunan jangka panjang yang harus dipatuhi sehingga pembangunan yang dilakukan tidak asal-asalan.

2 komentar:

Posting Komentar