Minggu, 22 Agustus 2010

Kau Ada untuk Memilihku

Dia sudah tiba lebih dulu dariku. Kami saling memberi senyum – tipis – dan bersapa dengan canggung. Kutahan nafas sejenak agar degup jantung tak dapat terdengar olehnya. Sedikit rasa sesal kenapa pula tadi langkah terasa berat. Huh... Andai dapat mengulang waktu, aku pasti bergegas dan aku yang akan jadi orang yang menunggu, bukan dia.

Aku ajak dia duduk di tempat makan yang sudah kami sepakati sebelumnya. Aku ambil posisi berhadapan dengannya. Bodohnya, basa basi grogiku memecah hening. “Nanti bayar sendiri-sendiri yah, lagi gak punya uang nih,” ujarku sambil terkekeh.

“Iya,” jawabnya.

Aku merutuk diriku, untuk hari sepenting ini kenapa tidak meminjam dulu uang teman seperti yang biasa kulakukan. Sesal lagi-lagi menyelinap dalam pikiranku. Beberapa saat kami terdiam. Dalam diam aku terus memutar otakku menemukan kata yang tepat untuk diucapkan. Entah dia sedang berpikir apa, mungkin menunggu saja tanpa berpikir. Tak dapat kuterka apa yang ada dibalik senyumnya.

Tak ada yang dapat kutawarkan padanya selain segudang mimpi yang mungkin terlalu besar. Sayang, dia terlalu indah untuk tidak disayangi. Cinta, semua orang bisa mencintainya. Ia istimewa. Apa yang dapat kuberikan padanya yang orang lain tak mampu berikan. Selalu itu yang menghambat langkahku untuk mengajaknya bersanding di sisiku.

Terlalu naif bila ku bilang aku setia dan layak untuk dipilih olehnya. Apakah ada yang akan meninggalkannya untuk mendampingi yang lain. Kupikir tak mungkin ada. Ia terlampau berharga untuk diduakan dengan orang lain. Apa yang mesti kuperbuat untuknya yang tak dapat dilakukan orang lain.

Kisah untuk diukir bersama sepanjang hidup, itu yang terucap dariku. Ia bersedia menerima. Aku diam. Aku lupa caranya untuk terkejut. Aku senang, tentu, tapi aku lupa caranya untuk bahagia. “Hhhhh... aku lega, terimakasih ya,” itu kata yang mengawali kisah kami. Bodoh memang, kaya tidak ada kata-kata lain yang lebih indah. Tapi dia tersenyum.

Tidak banyak obrolan yang kami bicarakan hingga dia akhirnya pulang. Ia memang istimewa. Sempurna untukku. Aku yang tak bisa memperlakukannya dengan istimewa. Aku terlalu bodoh dalam mencintainya. Ia kecewa, marah, kesal tapi tetap mau bersamaku. Ia tetap memilihku. Ia Trisna Ari Ayumika. Terimakasih sayang...

Lelaki Bodohmu, Widhi Maulana Desangga

1 komentar:

Posting Komentar