This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Kamis, 17 Juni 2010

Lokal Sebagai Jawaban

Kota menawarkan aroma harum perubahan hidup dan angin harapan yang positif sehingga mendorong masyarakat desa bermigrasi ke kota. Untung bagi yang memiliki keterampilan. Bagi yang tidak, semua itu hanyalah tipuan dari gelapnya kehidupan kota.
Urbanisasi merupakan persoalan kompleks yang terus menerus ada setiap tahunnya. Tidak sedikit pakar kependudukan yang menjelaskan mengenai dampak buruk yang ditimbulkan oleh arus urbanisasi. Akan tetapi, seperti pepatah “anjing menggonggong, kafilah berlalu”. Arus urbanisasi justru semakin sulit dibendung, hal ini mengakibatkan meluasnya problem sosial sebab mereka yang melakukan urbanisasi merupakan kaum miskin yang hendak meningkatkan taraf kehidupan.
Berpindahnya penduduk desa ke kota menyebabkan adanya ledakan jumlah penduduk, belum lagi ditambah dengan angka fertilitas sehingga populasi perkotaan semakin tidak terkendali. Dalam kacamata sosio-budaya hal ini akan menyebabkan terguncangnya keseimbangan hidup sebab percepatan gerak pun semakin bertambah laju.
Menurut riset UN-HSP (The United Nations Human Settlements Programme), kelak dua pertiga dari seluruh penduduk bumi akan tinggal di daerah perkotaan. Tahun lalu saja populasi penduduk Jakarta sekitar 13 juta jiwa. Diprediksi oleh World Urbanization Prospect, pada tahun 2015 nanti populasi penduduk jakarta akan bertambah menjadi 17,5 juta jiwa. Dengan pesatnya pertambahan penduduk ini dikhawatirkan akan terjadi penumpukan warga miskin di perkotaan sehingga potensi mereka tak terberdayakan dengan baik. Jika sudah demikian tak pelak lagi kita akan mengalami kemiskinan global.
Selain faktor alamiah seperti kelahiran dan kematian, arus urbanisasi yang tak dapat di rem merupakan isu sentral yang harus ditanggulangi pemerintah dalam mencegah ancaman kemiskinan global. Tahun ini saja ada sekitar 360.000 orang yang masuk ke Jakarta, hanya di Jakarta. Bisa kita bayangkan ada berapa orang lagi yang memasuki perkotaan lain seperti Bandung, Surabaya, Medan, Pontianak, dan kota besar lainnya.
Berbagai cara sudah dilakukan untuk menghambat laju urbanisasi tapi semua itu seakan tak ada guna. Semisal Operasi Yustisi, bukannya berhasil membuat jera penduduk desa untuk kembali berurbanisasi, malahan operasi ini dicibir sejumlah kalangan sebagai operasi yang membuang-buang kas daerah. Operasi ini dianggap sebagai upaya untuk menutupi ketidakberhasilan pemerintah dalam memeratakan kesejahteraan pada rakyatnya.
Urbanisasi merupakan ‘bencana’ yang tak mungkin dihindari karena sudah fitrahnya manusia untuk mencari yang lebih baik. Kebetulan yang lebih baik itu adanya di perkotaan bukan desa yang mereka tinggali sejak kecil. Oleh karena itu, pemerintah harus segera mengembangkan potensi daerah agar lebih terberdayakan.
Pembangunan yang bersifat Lokal
Pembangunan lokal yang dimaksud adalah memandirikan suatu daerah secara sosial ekonomi berdasarkan potensi alam dan budaya yang dimiliki. Pengembangan ini bisa saja dengan membentuk organisasi se-profesi di daerah tersebut, semisal Organisasi Petani Bawang di Brebes atau Persatuan Pemahat di Asmat, sehingga mereka akan lebih solid dan mampu menciptakan lapangan kerja yang cukup untuk daerah mereka sendiri sehingga daerah mereka pun dengan sendirinya akan bertambah maju.
Akan tetapi tentunya pemerintah pun tidak tinggal diam dalam pembangunan lokal ini. Pemerintah bertanggungjawab dalam penyediaan sarana dan prasarananya seperti jalan yang baik, gedung pertemuan, membangun penginapan di daerah yang potensi wisatanya tinggi dan banyak hal lainnya sehingga masing-masing daerah memiliki ciri dan keunggulannya tersendiri. Titik sentralnya adalah mengorganisasi serta mentransformasi potensi-potensi ini menjadi penggerak bagi pembangunan lokal. Jelas upaya ini harus ditumbuhkembangkan terutama oleh masyarakat lokal itu sendiri. Untuk itu sangat diperlukan kehadiran para penggagas yang mampu bekerja sama dengan masyarakat lokal untuk menggerakan pembangunan lokal tersebut. Dengan demikian apa dan bagaimana suatu rencana pengembangan wilayah akan dilakukan haruslah dihasilkan oleh masyarakat itu sendiri mengenai apa dan bagaimana hal tersebut harus dan akan dilakukan.
Jika ini sudah tercapai rasanya ‘wong ndeso’ pun tak iri lagi pada ‘wong kuto’, sebab kini mereka telah tersejahterakan. Bukankah tujuan mereka melakukan urbanisasi adalah peningkatan kesejahteraan, bukan begitu...

Sabtu, 12 Juni 2010

Feminisme: Masih Penting?

Siapa yang berani mengakui secara terbuka bahwa dirinya adalah seorang penganut feminisme? Pasti tidak banyak yang berani mangakuinya. Pasalnya, feminisme cenderung dipandang negatif, dan para feminis dianggap membenci laki-laki, kebarat-baratan, individualistis, bahkan tak jarang yang menganggap feminis itu anti agama. Apa sih sesungguhnya feminisme? Mengapa para feminis digambarkan sebagai tokoh yang demikian negatif?

Feminisme muncul karena adanya kesadaran akan ketidakadilan terhadap perempuan yang sudah lama terjadi. Sebenarnya, kaum perempuan sudah lama melakukan perjuangan untuk membebaskan diri dari ketidakadilan tersebut, tetapi pada waktu itu belum ada feminisme. Istilah itu mulai disosialisasikan oleh majalah Century pada tahun 1914, meski sejak tahun 1910-an kata feminisme (yang berakar dari bahasa Prancis) sudah kerap dipergunakan. Feminisme masih banyak disalahartikan dan dipandang sebagai ancaman, baik oleh laki-laki maupun oleh perempuan itu sendiri. Kondisi ini wajar kerena feminisme membuat “analisis yang tajam” untuk mengetahui akar masalah ketidakadilan dalam masyarakat di seluruh dunia.

Sekarang ini tidak sedikit yang menganggap bahwa telah tercipta kesetaraan antara perempuan dan laki-laki, terbukti dengan adanya perempuan karir yang sukses, berprestasi, punya background pendidikan yang tinggi, berpartisipasi dalam bidang politik, dan bebas menentukan haknya.
Tapi, mengapa masih ada kaum perempuan yang tetap giat berjuang atas nama semua perempuan yang masih terpasung? Pada saat ini, apakah feminisme masih relevan, khususnya di Indonesia? Sebab bagaimanapun, perempuan telah memiliki banyak hak demokratisnya, seperti pendidikan, pekerjaan, otoritas, dan sebagainya. Jika kita melihat pada perempuan kelas atas, pasti banyak yang setuju bahwa telah tercipta kesetaraan antara laki-laki dan perempuan, dan menganggap gerakan feminis tidak diperlukan lagi.

Namun, coba kita lihat perempuan kelas bawah, perempuan dari kalangan buruh tani, buruh pabrik, pembantu, TKW, perempuan di wilayah konflik, dan perempuan di desa-desa terpencil. Mereka ini sangat rentan terhadap bentuk-bentuk ketidakadilan gender. Kemiskinan keluarga kerap menjadikan mereka mudah masuk dalam perangkap eksploitasi dan kekerasan. Mereka memilih hidup di ”jalur gelap” demi membantu ekonomi keluarga. Mereka jelas masih membutuhkan sebuah gerakan penyadaran dan pemberontakan terhadap segala bentuk ketidakadilan gender.

Jika angka kemiskinan di Indonesia terus meningkat, bukan tidak mungkin gerakan perempuan menjadi sesuatu yang wajib ada dan diperlukan. Apabila keberadaan gerakan perempuan tidak dianggap perlu, maka dengan apa kaum perempuan miskin berjuang?

Perlu disadari, tidak semua perempuan yang meneriakan kesetaraan gender adalah seorang penganut feminisme. Tengoklah perempuan kelas bawah, apa mereka tahu tentang feminisme? Tidak semua. Jadi, untuk menjadi seorang feminis, mereka tidak perlu menghafal teori-teori feminisme. Yang mereka butuhkan adalah kesadaran dan semangat untuk mengakhiri ketidakadilan gender. Namun, mereka layak menyandang nama ”feminis sejati”.

Tentang pertanyaan ”masih pentingkah feminisme di Indonesia?”, silakan Anda tentukan sendiri.

Trisna A Ayumika

Diskriminasi, Sudah Tradisi?

Membicarakan budaya tidak bisa lepas dari pembahasan tentang perempuan, sebab ia seringkali mendapatkan hambatan dalam memperoleh kebebasan di wilayah budaya. Ketika perempuan ingin memilih dalam hidupnya, selalu benturannya adalah budaya. Menurut budaya kita, perempuan itu harus begini, perempuan harus begitu.

Padahal, budaya merupakan konstruksi sosial, jadi sebagai sebuah konstruksi seharusnya dapat diubah. Tidak masalah mengubah budaya, selama tidak melanggar prinsip-prinsip dasar. Maka, jika ada budaya yang tidak sesuai seharusnya dapat diubah. Namun tidak semudah itu, berbagai kendala selalu ada. Salah satu kendalanya yakni sikap dan pola pikir yang normatif pada masyarakat, khususnya perempuan.

Di Indonesia, perempuan selalu dituntut untuk menjaga budaya ketimurannya, dan kebanyakan perempuan sepakat dengan hal ini. Semisal dalam hal keperawanan, masyarakat lebih menuntut perempuan untuk selalu menjaga keperawanannya, jika laki-laki mendapatkan perempuan yang tidak perawan, maka laki-laki itu dianggap ”apes”. Hal seperti itu merupakan konstruksi budaya yang harus diubah.

Bentuk konstruksi budaya lainnya adalah menentukan pasangan hidup. Dalam memilih pendamping hidup perempuan dianggap tidak mahir, karena lebih mementingkan perasaan daripada bibit, bebet, dan bobot calon pendamping hidupnya. Maka, biasanya ada intervensi dari orang tua atau keluarga dalam pemilihan pasangan.

Budaya cenderung menyepelekan perempuan dalam beberpa hal. Lihat saja dari kacamata adat istiadat Bali, laki-laki adalah penerus keturunan keluarga yang bertugas melanjutkan eksistensi keluarganya dalam tatanan sosial masyarakat Hindu di Bali. Laki-lakilah yang bertanggung jawab melakukan segala upacara adat dan upacara agama, juga sebagai pewaris harta benda. Oleh karena itu, anak laki-laki dianggap lebih penting daripada perempuan.

Itu merupakan beberapa contoh konstruksi budaya tentang perempuan yang ada di masyarakat. Namun, budaya tidak selalu menjadikan perempuan sebagai objek, terkadang perempuan sendirilah yang berlaku demikian. Secara tak sadar, perempuan sendiri turut berpartisipasi dalam rangka penguatan budaya diskriminatif. Produk budaya harusnya menciptakan keseimbangan di dalam masyarakat. Budaya yang tidak sesuai harus dihapuskan. Jangan sampai budaya menjadi sebuah alasan untuk mempertahankan segala bentuk diskriminasi.

Mengapa tidak mengubah budaya yang menjadikan perempuan sebagai objek? Jika budaya yang diskriminatif dibiarkan, maka budaya tersebut akan berkembang dan makin memperburuk keadaan, tidak hanya keadaan perempuan, tapi juga laki-laki. Budaya adalah buatan manusia yang tidak mengandung kebenaran mutlak atau hakiki. Jadi, tidak perlu takut untuk melakukan perubahan. Jangan sampai muncul jargon ”Diskriminasi? Sudah tradisi...”.

Trisna A Ayumika

Perempuan Dalam Aksara

Di zaman yang dapat saya katakan makin edan ini, perempuan dihadapkan dengan berbagai tantangan. Tanatang yang mereka alami bukanlah tantangan biasa, pasalnya tantangan tersebut berkaitan dengan ketidaksetaraan gender. Perempuan kerap menanggung beban yang berat karena hal itu. Namun kini perlahan tapi pasti, emansipasi perempuan mulai bangkit. Kebangkitan perempuan terlihat dalam dunia tulis-menulis. Terjunnya perempuan dalam dunia tulis-menulis dengan berbagai alasan, diantaranya menyalurkan hobi, menuangkan pemikiran, mengabadikan kisah, mencari keuntungan ekonomi, atau sekedar ingin melampiaskan kejenuhan.
Banyak bermunculan penulis-penulis perempuan dengan berbagai karakter. Gender merupakan salah satu tema yang banyak dipilih. Memang banyak perempuan di Indonesia yang terlibat langsung dalam dunia penulisan. Namun, sangat sulit menemukan karya dari penulis perempuan yang mengungkapkan tema penyadaran perempuan atau sifat-sifat kejuangan perempuan dalam masyarakat, yang dalam hal ini tentu saja berkaitan dengan gender.
Lihat saja Djenar Maesa Ayu, ia merupakan salah satu penulis perempuan yang menginginkan kesetaraan gender, namun dalam beberapa karyanya tidak tampak sisi kejuangan seorang perempuan. Salah satu karyanya Nayla, novel ini lebih didominasi oleh isu seksualitas, kekerasan, dan gaya hidup yang hedonis, serta lebih menonjolkan tokoh-tokoh yang pesakitan. Penulis lainnya, yakni Oka Rusmini. Ia lebih mengangkat isu ketertindasan perempuan dari segi budaya. Melalui novel Tarian Bumi, Oka memperlihatkan ketertidasan perempuan Bali secara gamblang. Ketertindasan tersebut terjadi karena adat istiadat dan mitos kecantikan. Lain lagi dengan Fira Basuki, perselingkuhan menjadi ciri khas dalam karya-karyanya. Ia melihat perselingkuhan sebagai bagian dari permasalahan gender.
Mengapa penulis perempuan –khususnya penulis novel- di Indonesia lebih suka mengangkat ketertindasan perempuan dibanding menguak perjuangan dan keberhasilan perempuan? Mungkinkah karena tuntutan pasar? Jika memang seperti itu, artinya kesadaran untuk bangkit dari ketertindasan masih sangat minim, masyarakat kita terlarut dibuai romantisme ketertindasan hingga lupa bangkit untuk melawan.
Yang mengesankan, justru penulis laki-laki lah yang gencar mengangkat tema penyadaran dan perjuangan perempuan. Ia adalah pemilik nama Pramoedya Ananta Toer. Ia merupakan satu dari sekian banyak penulis yang hampir dalam semua karyanya manampilkan “ketokohan” perempuan, serta begitu dominannya perempuan dalam pergerakan kemasyarakatan di Indonesia. Dalam kacamata Pramoedya Ananta Toer, peran perempuan bukan sekedar “emansipasi” perempuan, melainkan pencerahan masyarakat. Salah satu tokoh dalam karyanya adalah Nyai Ontosoroh, seorang perempuan yang mampu membela dirinya sendiri dari kekuatan penjajah.
Memang, jika dibandingkan dengan Pramoedya Ananta Toer, penulis perempuan –yang telah saya sebutkan di atas- masih sangat jauh berbeda. Di sinilah seharusnya bangkit kejuangan perempuan Indonesia dalam dunia penulisan supaya mampu bersaing “secara sehat” dengan penulis laki-laki. Akan lebih baik jika mereka berangkat dari tema-tema pencerahan bagi masyarakat untuk mendobrak alam pikiran yang bias gender.
Trisna A Ayumika

Pengaruh Buku

Berbicara tentang buku memaksa kita untuk membuka diri akan pengetahuan, pengalaman bahkan petualangan.

Bila kita memasuki sebuah lingkaran komunitas atau organisasi kita akan dihadapkan pada bacaan-bacaan yang sifatnya wajib. Dalam komunitas design, buku tentang logo dan layout menjadi wajib. Dalam komunitas film, buku tentang skenario dan sejarah film jadi penting. Dalam komunitas sastra, seabrek judul karya adi menjadi sesuatu yang harus dilahap.

Sebuah buku bisa saja memiliki pengaruh besar terhadap pembacanya. Siapa yang menyangka akan ada yang membunuh hanya karena terbakar buku The Catcher in the Rye-nya JD Salinger. Mungkin tak ada yang mengira hanya dengan buku-buku di perpustakaan Karl May mampu berpetualang ke seluruh pelosok bumi (hanya satu bukunya yang ditulis berdasarkan petualangan asli). Dan banyak lagi buku yang menginspirasi pembacanya untuk melakukan tindakan-tindakan yang mencengangkan seperti The Turner Diaries (menginspirasikan naziisme di Amerika utuk meledakkan gedung federal), Trilogy Foundation (Sekte kiamat di Jepang terinspirasi dari buku ini) dan lainnya.
Untuk lingkup Indonesia kita mengenal Tetralogi Buru-nya Pramoedya Ananta Toer sebagai buku yang menginspirasi rasa nasionalisme terhadap bangsa. Yang lebih populer ada buu ayat-ayat cinta dan laskar pelangi yang disebut-sebut sebagai masterpiece karya sastra indonesia.
Dalam buku-buku yang menceritakan kehidupan tokoh tertentu, pembaca bisa memperoleh model yang memberinya inspirasi. Banyak penelitian yang menunjukkan kecenderungan remaja untuk meneladani siapa yang mereka baca. Pengaruh aspek sosial, moral dan kognitif dari buku itu membentuk identitas kepribadian pembacanya.
Kenapa bisa buku memengaruhi pembacanya seperti itu? Bisa jadi karena membaca merupakan kegiatan personal yang aktif. Saat membaca, seseorang mengizinkan waktu dan dirinya untuk masuk ke dalam paparan buku tersebut. Intensitas keterlibatan tubuh, perasaan dan pengetahuan pembacalah yang dapat menyebabkan pengaruh dari buku terhadap pembacanya.

REALITAS CITRA DALAM IKLAN

Tak dapat dipungkiri peranan iklan yang begitu dominan dalam dunia usaha saat ini. Pertanyaannya, apakah benar iklan kini bertugas menjajakan produk sebagai barang jualan.

Mana lebih dulu? Telur atau ayam. Ini adalah pertanyaan tradisonal yang selalu saja muncul dari generasi ke generasi. Begitupun dalam iklan, mana yang lebih dulu mempengaruhi? Iklan atau realitas. Apakah iklan yang mempengaruhi kehidupan riil di masyarakat atau justru realita yang menjadi dasar pemikiran dalam iklan. Inilah salah satu bahasan yang diberikan oleh buku ini.

Dalam buku yang sebenarnya adalah sebuah skripsi ini, ada dua sudut pandang dalam penciptaan iklan, representasi dan simulasi. Teori pertama, representasi merupakan anak dari paham semiotika strukturalis yang dikomandani olah Ferdinand de Saussure yang menyatakan bahwa iklan terbentuk atas dasar realitas, sebab jika suatu iklan tidak didasarkan pada kehidupan riil maka iklan teresebut tidak akan laku. Menurutnya, hal itu disebabkan tidak adanya kedekatan antara representator (audience) dengan iklan. Sedangkan menurut teori kedua, simulasi, iklan merupakan satu kesatuan yang berdiri sendiri dan mampu menciptakan realitanya sendiri, lazim disebut dengan realitas hiper (Hyperreality). Saking kuatnya pengaruh dari iklan maka realitas hiper ini realitas dalam kehidupan riil. Teori ini merupakan anakan dari paham post-strukturalis yang diusung oleh Jean Baudrillard, Roland Barthes dan lainnya.

Buku ini lengkap menjelaskan tentang seluk beluk iklan mulai dari sejarahnya hingga konteks kekinian iklan-iklan yang muncul di televisi. Namun demikian yang dikonsentrasikan buku ini adalah mengenai pembacaan iklan dari sisi tanda/simbol yang ditampilkan dalam iklan, kajian semiotik.

Sejarah Periklanan
Ratna membagi sejarah periklanan dari dua sisi yaitu dari sisi industry yang terbagi atas; Masa Pra Industri, Industrialisasi, Masa Industri, Masa Pasca Industri, dan Masa Interaksi Global. Segi lain yang ia terangkan mengenai sejarah iklan adalah dari segi penggunaan ekspresi simbolik dalam iklan, terbagi atas; Orientasi Produk, Penyimbolan Produk, Personalisasi dan Penyegmentasian Pasar.

Dari penjelasannya tentang sejarah periklanan tersebut akan dapat kita temukan bagaimana proses perubahan fungsi komunikasi iklan yang tadinya hanya sekadar bersifat informasional hingga akhirnya bertambah menjadi transformasional. Untuk bisa memiliki fungsi transformasional iklan mesti memiliki sisi imaji yang menyebabkan para konsumen merasa wajib untuk memiliki produk tersebut. Sebab dalam kaitannya dengan komunikasi transformasional iklan harus bisa mengubah sikap konsumen terhadap produknya, bagaimana konsumen harus selalu merasa butuh dan nyaman dengan produk tersebut.

Simbolisme dalam iklan memiliki tiga bentuk yaitu; Citra, Ikon. dan Simbol. Ketiga bentuk simbolisme inilah yang menentukan berhasil tidaknya iklan dalam menjaring perhatian massa. Sebab iklan yang memiliki ketiga bentuk ini akan membuat masyarakat mudah dalam merepresentasikan nilai produk tersebut. Nah, semakin mudah direpresentasikan maka kita bisa lihat Coca-Cola sebagai contoh. Berhasil bukan, meskipun banyak hantaman terhadap produk cola baik secara ilmiah maupun sekadar testimonial saja. Untuk lainnya mengenai buku ini lebih baik didiskusiin aja deh…..

Judul Buku : Jalan Tengah Memahami Iklan

Penulis : Ratna Novianti

Tips Melayout Majalah

Saya bukan seorang yang ahli dalam masalah desain, saya hanya seorang yang tertarik untuk belajar tentang desain dan perwajahan media. Berikut beberapa tips dari saya untuk melayout sebuah media. baik itu majalah, buletin atau koran.
Mungkin sedikit membantu:

Sebelum membuat desain tentu hal yang mendasar adalah konsep, pertimbangkan hal sbb:
1. Jenis Kelamin pembaca
2. Range umur pembaca
3. karakter/image yg ingin ditampilkan misal: modern, trendy, fancy, childish, dll

Dari hal sederhana tsb bisa utk mengambil keputusan jenis fonts apa yang cocok, karena fonts kan memiliki image/karakternya, layout pun berangkat dari hal-hal ini.

Dalam hal layout yg perlu diperhatikan:
- Besar fonts
- Kerning
- jarak antar baris huruf (grid)
- lebar kolom

kayaknya kalo di jelasin panjang lebar bro.

Beberapa buku yg bisa dijadikan referensi:
- Layout dasar dan penerapannya- Surianto Rustan, terbitan Gramedia
- typografi - danton sihombing - gramedia
- typografi - rustan-->> belum terbit katanya 2010 mo terbit.

Semoga membantu.

Singkong, Gandum dan Peluncuran Jurnal

Makan singkong pagi ini membuatku ingat ketika aku mengantarkan istriku ke acara yang dia ikut tampil di dalamnya. Ia membacakan narasi. Aku tak tahu acara utamanya apa di tempat itu, sepertinya diskusi atau seminar yang menemani launching jurnal terbaru dari Yayasan Bina Desa. Banyak aktivis LSM yang kutemui di sana juga aktivis gerakan bahkan ada juga Happy Salma. Hahaha..., tampaknya menarik sekali acara ini.
Di sana aku membaca sebuah artikel gratis yang tergeletak di meja, judulnya “Kenapa Tidak Gandum?” tampaknya menarik sebab di salah satu adegan yang dipentaskan oleh kelompok yang istriku main di dalamnya menceritakan tentang pertarungan gandum dan ganyong. Awalnya aku tidak mengerti bagaimana mungkin ada makanan yang yang dipertarungkan dan itu menyebabkan budaya dan perekonomian suatu negeri dapat terkena dampaknya. Halah... terlalu jauh itu orang mengait-ngaitkan, begitu pikirku.

Tapi setelah kubaca artikel itu tampaknya logis juga. Aku sharing aja ya di sini beberapa dampaknya:

1. Merusak neraca perdagangan Indonesia.
2. Ketergantungan pangan impor.
3. Merusak pasar pangan lokal yang dihasilkan petani kita sendiri.
4. Merusak pola konsumsi dan selera konsumen.
5. Menipu konsumen dengan iklan yang menyesatkan.
6. Menambah beban lingkungan.

Itu beberapa dampak yang disebutkan di artikel yang diterbitkan oleh Debt Watch Indonesia, KoAGE, ALIANSI, ParaGraph dan Loe Good. Untuk lebih jelasnya ya... googling ajalah. Oke.

Ada yang Lucu
Singkatnya, istriku dan kelompoknya selesai tampil. Cukup menarik perhatian peserta acara. Bagus menurutku bahkan aku sempat menitikkan airmata, ah betapa lemahnya aku. Hehehe... menjelang berakhirnya acara aku keluar sajalah. Keliling di gedung berlantai tujuh itu.

Toko ke toko dari lantai satu aku sambangi jendelanya, jadilah aku seorang window shopper. Begitu mewahnya barang yang dijual, bayangkan satu set sofa saja ada yang berharga 90 juta. Waw. Itu yang biasa apalagi yang tidak biasa yah... kursi kantor pun ada yang 3 juta. Ini sih ngeledek gw, ujarku dalam hati. Kenapa mesti di tempat seperti ini sih diadakannya acara yang..... entahlah. Rupanya aku terjebak oleh batas simbol yang terdapat pada nama penyelenggaranya, Yayasan Bina Desa. Aku terjebak pada kata ‘desa’. Hahahaaa.... lantas aku coba berpikir positif, kan ada Happy Salma dan aktivis terkenal jadi ya harus di tempat yang sesuai dong.

Cape berkeliling aku ke ruang makan, hahaha... sudah tersedia kopi, teh dan berbagai cemilan. Di sini yang lucu menurutku. Makanan kecil yang tersedia itu semuanya berbahan dasar terigu yang notabenenya terbuat dari gandum. Aku ya makan saja semua jenis makanannya hahaaa.... lha wong enak kok, tapi ya itu lho kenapa mereka mesti meletakkan seruan “Kenapa Tidak Gandum?” kalau toh makanan yang disediakan itu terbuat dari gandum. Lucu sajalah menurutku. Setidaknya menurutku itu lucu. Menurutku itu lucu setidaknya.

Oh ya, kembali lagi ke soal singkong yang aku makan pagi ini. Tidak terlalu enak sih menurutku, karena begitu empuk. Aku sukanya singkong yang tidak terlalu empuk agar tidak menyelip-nyelip di sela gigiku yang longgar. Lantas apa hubungannya dengan acara tadi. Gak ada mungkin. Heheheeee..... (2 Juli 2010)