Sabtu, 12 Juni 2010

Feminisme: Masih Penting?

Siapa yang berani mengakui secara terbuka bahwa dirinya adalah seorang penganut feminisme? Pasti tidak banyak yang berani mangakuinya. Pasalnya, feminisme cenderung dipandang negatif, dan para feminis dianggap membenci laki-laki, kebarat-baratan, individualistis, bahkan tak jarang yang menganggap feminis itu anti agama. Apa sih sesungguhnya feminisme? Mengapa para feminis digambarkan sebagai tokoh yang demikian negatif?

Feminisme muncul karena adanya kesadaran akan ketidakadilan terhadap perempuan yang sudah lama terjadi. Sebenarnya, kaum perempuan sudah lama melakukan perjuangan untuk membebaskan diri dari ketidakadilan tersebut, tetapi pada waktu itu belum ada feminisme. Istilah itu mulai disosialisasikan oleh majalah Century pada tahun 1914, meski sejak tahun 1910-an kata feminisme (yang berakar dari bahasa Prancis) sudah kerap dipergunakan. Feminisme masih banyak disalahartikan dan dipandang sebagai ancaman, baik oleh laki-laki maupun oleh perempuan itu sendiri. Kondisi ini wajar kerena feminisme membuat “analisis yang tajam” untuk mengetahui akar masalah ketidakadilan dalam masyarakat di seluruh dunia.

Sekarang ini tidak sedikit yang menganggap bahwa telah tercipta kesetaraan antara perempuan dan laki-laki, terbukti dengan adanya perempuan karir yang sukses, berprestasi, punya background pendidikan yang tinggi, berpartisipasi dalam bidang politik, dan bebas menentukan haknya.
Tapi, mengapa masih ada kaum perempuan yang tetap giat berjuang atas nama semua perempuan yang masih terpasung? Pada saat ini, apakah feminisme masih relevan, khususnya di Indonesia? Sebab bagaimanapun, perempuan telah memiliki banyak hak demokratisnya, seperti pendidikan, pekerjaan, otoritas, dan sebagainya. Jika kita melihat pada perempuan kelas atas, pasti banyak yang setuju bahwa telah tercipta kesetaraan antara laki-laki dan perempuan, dan menganggap gerakan feminis tidak diperlukan lagi.

Namun, coba kita lihat perempuan kelas bawah, perempuan dari kalangan buruh tani, buruh pabrik, pembantu, TKW, perempuan di wilayah konflik, dan perempuan di desa-desa terpencil. Mereka ini sangat rentan terhadap bentuk-bentuk ketidakadilan gender. Kemiskinan keluarga kerap menjadikan mereka mudah masuk dalam perangkap eksploitasi dan kekerasan. Mereka memilih hidup di ”jalur gelap” demi membantu ekonomi keluarga. Mereka jelas masih membutuhkan sebuah gerakan penyadaran dan pemberontakan terhadap segala bentuk ketidakadilan gender.

Jika angka kemiskinan di Indonesia terus meningkat, bukan tidak mungkin gerakan perempuan menjadi sesuatu yang wajib ada dan diperlukan. Apabila keberadaan gerakan perempuan tidak dianggap perlu, maka dengan apa kaum perempuan miskin berjuang?

Perlu disadari, tidak semua perempuan yang meneriakan kesetaraan gender adalah seorang penganut feminisme. Tengoklah perempuan kelas bawah, apa mereka tahu tentang feminisme? Tidak semua. Jadi, untuk menjadi seorang feminis, mereka tidak perlu menghafal teori-teori feminisme. Yang mereka butuhkan adalah kesadaran dan semangat untuk mengakhiri ketidakadilan gender. Namun, mereka layak menyandang nama ”feminis sejati”.

Tentang pertanyaan ”masih pentingkah feminisme di Indonesia?”, silakan Anda tentukan sendiri.


Trisna A Ayumika

0 komentar:

Posting Komentar